Search

Home / Khas / Ekonomi

Bertahan Hidup dari Pontensi Alam di Desa

Editor   |    22 Oktober 2023    |   13:15:00 WITA

Bertahan Hidup dari Pontensi Alam di Desa
Petani tuak Ketut Kertiyasa sedang mengolah nira menjadi gula juruh. (suteja)

SEBAGIAN warga Bali terdampak pandemi Covid-19 terpaksa pulang kampung halaman demi dapat bertahan hidup. Justru tak sedikit akhirnya malah menemukan penghidupan baru dari potensi alam di desa mereka.

Salah satu cerita pengalaman itu terjadi pada Ketut Kertiyasa dari Desa Les, Kecamatan Tejakula, Buleleng. Ia setelah menetap di Kota Denpasar terpaksa kembali ke kampungnya yang terletak di wilayah Bali Utara tersebut.

Untuk menyambung hidup ia bersama keluarga, Kertiyasa dari seorang buruh kemudian memilih melakoni menjadi petani tuak. Tak disangka, justru inilah awal ia menemukan mata pencaharian baru yang lebih menjanjikan dari pekerjaan sebelumnya.

Hanya dengan memanfaatkan pohon lontar yang banyak terdapat di desanya untuk diolah menjadi gula juruh, penghasilan didapat jauh melebihi pekerjaaannya sebagai buruh di kota.

“Dulunya saya adalah seorang buruh bangunan di Denpasar. Seiring berjalannya waktu, Bali terdampak Covid-19. Semua aktivitas dihentikan termasuk proyek pembangunan,” tutur Kertiyasa, Sabtu (21/10/2023) di Buleleng.

Desa Les tempat kampung halamannya berada wilayah Buleleng Timur dikenal sebagai daerah penghasil tuak dari pohon lontar.

“Nira dari pohon lontar itu disebut tuak. Bisa dikonsumsi langsung, bisa juga diolah menjadi gula. Tetapi gula yang diproduksi Desa Les berbeda dengan desa lainnya. Kendati nira yang didapat dipakai membuat gula merah dengan bentuk bulat dan padat, namun di sini itu cenderung diolah menjadi gula juruh.  Gula ini berwarna coklat. Tidak jauh beda dengan gula merah pada umumnya, tetapi teksturnya kental,” jelas Kertiyasa.

Ia kemudian mengatakan bahwa awal pemesanan yang diterima adalah gula juruh, namun lambat laut merambah ke orderan yang lain. Tuak manis dan tuak wayah pun menjadi produk tambahan yang ia jual. Bahkan ia memasarkannya produknya tidak hanya dalam daerah, tetapi juga ke luar daerah.

“Gula ini banyak peminatnya. Tidak saja dalam kabupaten, tetapi juga luar kabupaten hingga keluar daerah," sebutnya.

Ia lantas berkolaborasi dengan saudaranya yang bertransmigrasi di Pulau Sumatera. Tepatnya di Desa Air Talas, Kecamatan Rambang Niru, Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan.

“Ada saudara tinggal disana. Jadi saya minta bantuan kerjasama sama saudara saya untuk memasarkannya di Sumatera,” tambahnya.

Kembali dituturkan Kertiyasa alasan dirinya menekuni menjadi petani, bahwasannya Covid-19 menyebabkan kehilangan pekerjaan. Ia terpaksa pulang kampung lantaran sudah tidak ada lagi pekerjaan yang bisa dilakukan kala itu di kota.

“Pulang, kembali ke rumah,” ujarnya singkat.

Di kampung halamannya, Kertiyasa melihat beberapa pohon lontar milik keluarganya masih subur. Belajar dari pengalaman ayahnya yang seorang petani gula juruh, Kertiyasa mencoba untuk menyadap nira. Ia mulai belajar membuat gula juruh lalu menjualnya. Tetapi usaha menjual gula juruh dirasa belum cukup.

“Coba lagi dan tambah lagi,” ungkapnya.

Perjuangan Kertiyasa begitu gigih. Dari atas bukit Buu Desa Les, ia mesti turun menuju jalan raya. Kemudian ia harus menunggu bus yang datangnya belum tentu pagi. Kadang siang atau petang. Ia pun juga harus menyesuaikan dengan kedatangan bus agar produk yang akan dikirim ke Sumatra dipastikan aman.

Dari Bali hingga ke Sumatera dengan bus, tentu perjalanan yang sangat panjang. Tuak-tuak yang telah dikemas Kertiyasa itu melewati puluhan kecamatan hingga ratusan desa/kelurahan untuk sampai di lokasi tujuan. Namun tuak-tuak dalam wadah botol itu masih tetap nikmat saat tiba di Sumatera. Tidak meledak apalagi berubah rasa secara drastis.

“Jarak tempuh kurang lebih 1.744 km dengan waktu tempuh kurang lebih 27 jam,” ujar Ketut memperkirakan waktu pengiriman.

Ternyata produknya disambut baik konsumen. Hingga kini pengiriman tidak pernah putus. Bahkan ia merambah pengiriman Rengginang serta kue kering lainnya ke wilayah Sumatera. “Ada jaje rengginang, kue kering, ikan laut dan makanan olahan dari laut juga saya bawa kesana,” tutup Kertiyasa. (suteja)


Baca juga: Primadona Buah Naga dari Bali Utara