Search

Home / Khas / Sosial Budaya

Pangkonan, Tradisi Kebersamaan di Padangbulia

Editor   |    04 November 2023    |   15:01:00 WITA

Pangkonan, Tradisi Kebersamaan di Padangbulia
Masyarkat Desa Padangbulia saat melaksanakan tradisi pangkonan. (foto/suteja)

TIAP masyarakat dengan kultur agraris memiliki nilai tradisi kebersamaan dalam berbagai bentuk, termasuk pula di Pulau Bali. Salahnya satunya tradisi pangkonan.  

Tradisi pangkonan berasal dari Desa Padangbulia, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng ini dilaksanakan saat digelarnya ritual Pitra Yadnya pada desa setempat.

Pitra Yadnya sendiri bagi masyarakat Bali merupakan ritual persembahan bagi leluhur yang dalam pelaksanaannya memiliki berbagai tingkatan tertentu.

Sedangkan istilah pangkonan berasal dari kata mangkon yang berarti melinggih. Dalam konteks ini, pangkonan yang diklasifikasikan tegak gede mengacu pada tradisi menempatkan seseorang dan menikmati hidangan yang telah disiapkan di satu tempat untuk 32 orang terdiri dari 16 laki-laki dan 16 perempuan.

"Tradisi pangkonan ini melambangkan prinsip purusa kerthi. Di dalamnya, lanang (laki-laki) ditempatkan di sisi kanan, sedangkan wadon (perempuan) di sisi kiri, semuanya berkumpul di tempat yang disebut balai bundar," tutur Perbekel Desa Padangbulia, I Gusti Nyoman Suparwata, Jumat,(3/11/2023) di Buleleng.

Pelaksanaan tradisi ini umumnya diselenggarakan pada tingkatan yadnya Utamaning Utama dan Utamaning Madya, baik hal tersebut dilaksanakan pada keluarga inti saja, maupun pada kegiatan pengabenan massal. Adapun urutan pada saat pelaksanaan tradisi ini ketika hendak memulai untuk menduduki bale gede, urutan dari golongan tertua yang menjadi upasaksi menghadiri kegiatan tersebut seperti prajuru adat, bendesa, kelihan adat, dan dilanjutkan dengan keluarga inti dari pelakasana upacara tersebut.

Upakara yang disiapkan sebelum kegiatan tersebut pun tergolong unik. Sejumlah tempat nasi yang disajikan sedemikan rupa atau yang disebut dalam satu tandingan itu, terdiri dari kepala babi guling, nasi, lauk pauk, dan dilengkapi arak berem.

“Kegiatan ini ada pengarah acara yang menunjuk posisi dari peserta pangkonan dan urutannya agar tersusun sesuai dengan jumlah dan tingkatan umurnya,” jelasnya.

Meskipun pangkonan tegak gede ini kebanyakan dilaksanakan berdasar tingkatan Utamaning Utama, Mekel Suparwata menjelaskan bagi umat yang terkendala biaya pelaksanaan bisa melaksanakan pangkonan banten yang menjadi bagian dari tingkatan Utamaning Nista dengan hanya mempersembahkan haturan tandingan hanya kepada Sang Hyang Pitara agar proses yadnya tetap terpenuhi dan tetap memperoleh kesejahteraan tanpa mengurangi arti yadnya tersebut.

Suparwata mengaku pangkonan ini kaya akan nilai kebersamaan sesama manusia terlihat saat masyarakat Desa Padangbulia mempersiapkan pelaksanaan tradisi dengan gotong-royong dan menikmati tandingan bersama.

Nilai tanggungjawab pun tidak ditinggalkan pada kegiatan ini terlihat dari pelaksanaan tradisi pangkonan yang tetap dilaksanakan dengan berbagai tingkatan yadnya pada setiap kegiatan Pitra Yadya sehingga tradisi yang penuh dengan filosofi dan nilai-nilai positif ini tetap terjaga dan terlestarikan dengan baik.

“Tujuan dari pangkonan ini agar memperlancar kegiatan dari  upacara Pitra Yadnya tersebut, dan diharapkan dengan dilaksanakan pangkonan, masyarakat khususnya di Desa Padangbulia tetap terjaga kesejahteraannya,” terangnya. (suteja)


Baca juga: Kisah Mistis Pelinggih Mobil di Desa Sangket