Search

Home / Kolom / Opini

Menyiapkan Beasiswa SDM Sawit

Editor   |    27 Januari 2024    |   16:55:00 WITA

Menyiapkan Beasiswa SDM Sawit
Benny. (dok/pribadi)

MENYONGSONG Indonesia Emas 2045, yang kick-off nya sudah lama. Dan hari ini 2024. Artinya kita punya waktu 21 tahun untuk menyambut masa keemasan kita. Tentunya sebagai penerus bangsa ini ke depannya. Banyak hal yang harus dan patut kita pikirkan tentang masa depan. Lebih dari masa depan personal, namun masyarakat, lingkungan sekitar bahkan keberlanjutan negara kita kedepannya,

Sebuah hal yang positif, bilamana ditinjau pada 2022 penerima beasiswa sawit berjumlah 2.000 mahasiswa yang tersebar di seluruh Indonesia walaupun ada catatan masih adanya ketimpangan alokasi bilamana kita melihat dari beberapa daerah.

Setidaknya ini menjadi refleksi di 2024. Di mana proyeksi alokasi berjumlah 3.000 mahasiswa, padahal kami berharap bisa seperti statement perwakilan Kementerian Pertanian RI pada November lalu yang mengutarakan “10.000 Mahasiswa” bisa terealisasi di tahun 2024 ini. Yang tentunya akan banyak melahirkan orang-orang terbaik  pada industri penyumbang kehidupan negara kita “pajak” yang terbesar di Republik ini. Bukan sekedar industri yang mendapatkan tenaga kerja siap kerja dengan biaya murah.

Hari ini, kita perlu melek mata terhadap apa yang terjadi detik-detik ini. Kebijakan EUDR, mengejar produktivitas bahkan melampaui yang sudah ada, bahkan menyikapi panggung global yang nampaknya “Kepanasan” karena industri sawit terus hidup bahkan menjadi kuat.

Kita perlu sadar, bahwa kita telah memiliki bursa sendiri (per 25 Januari 874,13 USD per MT) untuk semakin menajamkan kekuatan kita. Namun menjadi renungan bahwa kita belum bisa membusungkan dada karena belum mampu mendekati harga seperti Bursa Malaysia yang mencapai 931 USD per MT. Apalagi Bursa Roterdam yang 952,78. USD per MT, Kuala Lumpur mampu mendekati Rotterdam itupun karena Bursa Roterdam yang anjlok bebas pada tren 2 pekan terakhir. (Data By CPOPC)

Kita bisa berkiblat pada CPOPC. Dengan anggota awalnya Indonesia & Malaysia di permulaannya dan salah satu key figure Alm Rizal Ramli. Sosok yang getol memperjuangkan banyak hal di Republik Indonesia. Termasuk masa depan sawit. Berhasil menarik perhatian dunia, menarik sorot mata kepada Asia Tenggara utamanya Indonesia

Di samping dua negara ini, ada Honduras juga menjadi anggota CPOPC Serta beberapa Observer Country (negara pengamat) seperti Colombia, Ghana, Papua New Guinea. Dan negara lainnya yang terafliasi sawit seperti Ekuador, Guatemala, Nigeria, Pantai Gading, Thailand yang memiliki historis sawit yang panjang. Baik sebagai produsen, eksportir, hingga praktisi.

Bahkan tidak sedikit negara di Eropa yang memiliki pakar sawit seperti pengalaman kami Ketemu pakar dari spanyol.

Serta Uni Eropa sebagai regulatornya EUDR yang terkesan menjegal sawit. Atau kalau sedikit provokatif, mereka mencoba membius mematikan industri emas cair ini.

Upaya CPOPC dalam ragam lawatannya ke banyak negara, bisa menjadi referensi bagi perguruan tinggi (PT) untuk melakukan hal serupa. Berbeda dengan CPOPC membawa misi diplomasi, maka PT berperan sebagai pembawa misi studi banding.

Dan menjadi ideal bilamana CPOPC bersinergi dengan PT dalam rangka mencetak generasi penerus diplomat sawit, melihatkan mahasiswa untuk belajar secara langsung. Barangkali dengan melihat permulaannya pada program #youngelaeis yang dilihat sudah cukup bagus, tinggal dikencangkan kembali.

Sebagai refleksi kita hari ini. Konsumsi domestik Indonesia yang mencapai 18,976 juta ton, tertaut jauh Malaysia yang hanya 3,282 juta ton. Nigera 2.340 juta ,Thailand 2,168, Dan akumulatif negara lain mencapai 46,685 juta ton. Lalu lahan  Indonesia menghasilkan mencapai 12,342 juta  hektar, malaysia 5,127 hektar , Thailand 990 ribu hektar mendekati 1 juta hektar. Dan akumulatif negara lain mencapai 3,934 hektar. Khusus Indonesia dalam tren 12 tahun (2010-2022) nyaris 2 kali lipat 2010 yang hanya 6,262 juta hektar (Data By CPOPC 2022). Dan melihat tren ekspor Indonesia mencapai 27,873 juta ton (55.1 persen), Malaysia 15,730 juta ton (31.1 persen). (Data By CPOPC 2022)

Melihat data diatas, sudah saatnya melibatkan perguruan tinggi utamanya yang terafliasi dengan Beasiswa Sawit untuk naik level, bukan sekedar mengejar karir pada industri belaka. Walaupun hal tersebut bukan sesuatu yang diharamkan.

Hematnya, lembaga pendidikan yang terafliasi dengan sawit berperan dalam dua lini yang bisa dilakukan dalam mendongkrak mutu mahasiswanya, penguatan bahasa asing dan studi banding.

Bahasa Asing

Setidaknya di Malaysia kita akan ditemukan oleh ragam bahasa yang melekat pada orang dis ana. Seperti bahasa Melayu yang memiliki kedekatan dengan kita, namun tetap perlu kita belajar. Lalu bahasa Inggris sebagai bahasa global, serta bahasa Mandarin karena di Malaysia cukup kental pluralisnya. Serta pada sektor manufaktur sawit di mana peralatan manufaktur tidak sedikit dari Negeri Tirai Bambu sebagai raksasa manufaktur global.

Ditarik dari pendekatan pembelajaran bahasa Inggris, nampak tidak cukup bila hanya satu semester, namun bilamana keterbatasan. Kampus perlu inisiasi kelas tambahan atau kursus di waktu libur atau narasi kerennya Summer Course. Tentunya bisa membuat mahasiswa lebih produktif dengan keterampilan bahasa asing dan melahirkan kepercayaan dirinya pada kancah global.

Lalu bahsa asing lainnya dengan menggandeng lembaga kursus lainnya. Sehingga mahasiswa penerima beasiswa sawit atau yang terafilasi dengan sawit memiliki selling value yang lebih mewah. Apalagi bilamana mahasiswa memiliki proyeksi untuk melanjutkan studi tentu keterampilan bisa menjadi penguat kapasitas kedepannya.

Studi Banding

Studi banding negara tetangga nampaknya awalan yang tidak buruk. Dan berpotensi besar perguruan tinggi sawit bisa mengikutinya. Semisal di Malaysia, perguruan tinggi yang berada di Sumatera Utara maupun Riau atau Sumatera Barat sudah memiliki potensi besar untuk menginisiasinya. Malaysia bisa menjadi pilihan untuk melaksanakan studi banding /studi kelembagaan karena pembiayaan pada transportasi utama (pesawat) jauh lebih murah bilamana hendak terbang ke Jakarta. Dan pembiayaaan transportasi penunjang (Dari Bandara Kuala Lumpur ke lokasi misalnya RSPO Headquarters / Markas Besar Roundtable on Sustainable Palm Oil) jauh lebih efisien.

Dengan simulasi pemberangkatan beberapa kelas sekali berangkat, tentunya ini menjadi potensi besar apalagi PTS (Perguruan Tinggi Swasta)dalam rangka mempromosikan kampusnya, sehingga meningkatkan daya pikat bagi calon mahasiswanya.

Hal demikian juga berlaku bagi PT di Yogyakarta maupun Jabodetabek. Yang masing-masing memiliki koneksi penerbangan internasional, khusus yang di Jabodetabek katakanlah sudah menang start karena banyak perkantoran dipusatkan di Jakarta (Kementerian Pertanian maupun Instansi lainnya)

Tentunya dalam pengelolaan pembiayaan, bisa dilakukan dengan swadana serta dukungan dari stakeholders lainnya seperti BUMN perkebunan, dinas sesuai tingkatannya, Kementerian terkait, maupun BPDP-KS nantinya. (*)

Oleh : Benny (Institut Teknologi Sawit Indonesia)

 


Baca juga: Bebal