DENPASAR, PODIUMNEWS.Com - Apa jadinya jika pakaian bekas jadi simbol persatuan lintas negara? Itulah yang terjadi di Denpasar awal Agustus ini, ketika anak-anak muda dari berbagai negara Asia Tenggara berkumpul untuk menyuarakan kepedulian terhadap lingkungan lewat fesyen berkelanjutan. Mereka hadir dalam ajang Sustainable Fashion Fest (SFF) 2025 yang digelar selama dua hari, 2–3 Agustus 2025, di The Ambengan Tenten (TAT), Denpasar, Bali. Festival ini menjadi ajang kampanye dan aksi nyata gerakan #NoNewClothes yang mengajak masyarakat untuk mengurangi pembelian pakaian baru dan memanfaatkan kembali yang sudah dimiliki. Annisa Fauziah, Event Lead SFF 2025 sekaligus pendiri komunitas TRI Cycle dan co-founder Rekynd, mengatakan bahwa banyak orang masih membeli pakaian hanya karena murah, namun akhirnya tak terpakai. Padahal, sebagian besar pakaian itu masih layak digunakan. “Orang sering beli baju Rp5.000 sampai Rp10.000, lalu tidak dipakai. Mungkin warnanya kurang cocok, atau modelnya tidak disuka. Padahal bisa ditukar dan digemari orang lain,” kata Annisa pada Sabtu (2/8/2025). Itulah dasar kegiatan clothes swap atau tukar baju yang menjadi salah satu inti acara. Menurut Annisa, kegiatan sederhana ini bisa memperpanjang umur pakaian dan mencegahnya berakhir sebagai limbah. Dari komunitas lokal ke jejaring regional SFF 2025 bukan sekadar festival, tapi bagian dari gerakan regional yang melibatkan generasi muda ASEAN. Festival ini menjadi bagian dari program eMpowering Youths Across ASEAN (eYAA), inisiatif kerja sama antara ASEAN Foundation dan Maybank Foundation untuk mendukung proyek sosial lintas negara berbasis anak muda. Dr. Piti Srisangnam, Direktur Eksekutif ASEAN Foundation, menyebut inisiatif ini sebagai bukti bahwa solusi lokal bisa berdampak luas jika dikerjakan bersama-sama. “Komitmen anak muda di ASEAN menjadi kekuatan utama untuk memimpin transformasi dari tingkat akar rumput,” ujarnya. Sementara Aiidir Putera Ab. Rahman dari Maybank Foundation menyebut program ini sebagai bagian dari upaya bersama mendorong transisi menuju ekonomi sirkular. Ia berharap gerakan seperti SFF terus berkembang dan memperluas dampaknya ke seluruh kawasan ASEAN. Selain tukar baju, SFF 2025 menghadirkan berbagai kegiatan yang edukatif dan kreatif. Pengunjung bisa belajar teknik memperbaiki pakaian lewat hand stitching, menganyam dari kain bekas, melukis di kain, hingga mengikuti talkshow dengan narasumber inspiratif. Ada pula repair corner dan bazar UMKM yang menampilkan produk-produk hasil daur ulang atau upcycle. Semua aktivitas ini terbuka bagi siapa pun, dan dirancang untuk mendorong perubahan kebiasaan konsumsi di tengah masyarakat. “Kami bukan organisasi formal. Kami pelajar, guru, ibu rumah tangga, dan ASN yang bekerja sukarela karena satu visi: membangun dunia yang lebih empati dan sadar,” kata Annisa. Kolaborasi dengan pemerintah dan pelaku industri kreatif SFF 2025 didukung oleh Kementerian Perindustrian Republik Indonesia dan Bali Creative Industry Center (BCIC). Dickie Sulistya, Kepala Balai Pemberdayaan Fesyen dan Kriya yang mewakili BCIC, mengatakan bahwa kreativitas punya peran penting dalam membangun praktik fesyen yang etis dan berkelanjutan. Ia menambahkan, tahun ini acara dibuka oleh perwakilan lokal. Namun BCIC berharap agar ke depan, dukungan dari lembaga pemerintah semakin kuat, termasuk keterlibatan pejabat tingkat nasional dalam pembukaan acara. “Kami juga mendorong dinas industri provinsi dan kabupaten/kota ikut aktif dalam gerakan ini, agar dampaknya merata,” ujar Dickie. Pesan utama dari kampanye #NoNewClothes adalah sederhana yakni perubahan bisa dimulai dari dalam lemari. Memakai ulang, menukar, atau memperbaiki pakaian adalah bentuk kontribusi kecil yang jika dilakukan bersama-sama bisa berdampak besar bagi lingkungan. Rekynd dan TRI Cycle menjadi contoh nyata gerakan akar rumput yang memanfaatkan kreativitas sebagai alat perubahan. Rekynd mendorong masyarakat menyortir, memperbaiki, dan mendonasikan pakaian. Sementara TRI Cycle memproduksi merchandise dari kain bekas dan menyumbangkan keuntungannya untuk pelindungan hutan. Anak muda ASEAN tak lagi menunggu perubahan datang dari atas. Lewat SFF 2025, mereka menunjukkan bahwa dengan kerja sama, kreativitas, dan kepedulian, pakaian bekas pun bisa menjadi alat perjuangan, membawa pesan gaya hidup baru yang lebih berkelanjutan, etis, dan penuh harapan. (angga/sukadana)
Baca juga :
• Gen Z Lebih Percaya Influencer, Gen X Andalkan TikTok
• Public Speaking dan Problem Solving Jadi Skill Paling Dicari
• Generasi Muda Bali Harus Cerdas Sikapi Teknologi Digital