Search

Home / Khas / Sosial Budaya

Edibud dan Harmoni Bambu dari Alasangker

I Nyoman Sukadana   |    13 Juli 2025    |   15:48:00 WITA

Edibud dan Harmoni Bambu dari Alasangker
I Gede Edi Budiana, pemuda asal Desa Alasangker, Buleleng, tengah mengukir bilah bambu untuk rindik di studionya, dE Percussion, Minggu (13/7/2025). (foto/adi)

BERAWAL dari bambu bekas penjor dan pesanan seorang teman kos, I Gede Edi Budiana tak pernah menyangka alunan rindik buatannya bakal terdengar hingga Australia, Jepang, dan New York. Pemuda yang akrab disapa Edibud ini kini memimpin dE Percussion, sebuah bengkel kecil alat musik bambu di Desa Alasangker, Buleleng, tempat nada-nada Bali dirakit dengan sabar dan cinta.

“Waktu itu saya iseng bikin rindik dari bambu bekas. Teman kos malah suka dan minta beli. Saya lepas seharga tiga ratus ribu. Itu penjualan pertama saya, tahun 2016,” kenang Edibud saat ditemui di studionya, Minggu (13/7/2025).

Ketertarikannya pada gamelan bambu tumbuh sejak kecil, dari mendengarkan radio dan suara gamelan di upacara yadnya. Namun semangatnya makin tumbuh saat merantau ke Gianyar sambil kuliah di jurusan komputer. Di sana, ia belajar banyak dari para tetua gamelan yang masih setia mengukir suara dari bilah bambu.

Nada Tradisi, Teknologi Digital

Kini, Edibud memadukan kepekaan rasa para tetua dengan bantuan teknologi. Dalam menentukan nada, ia menggunakan aplikasi digital Tuner untuk menguji setiap bilah bambu agar suara yang dihasilkan benar-benar akurat dalam tangga nada selendro atau diatonis.

“Kalau dulu hanya pakai feeling, sekarang bisa dibantu aplikasi. Karena pendengaran kita kadang tidak sesensitif alat,” jelasnya.

Sentuhan teknologi tak hanya digunakan dalam produksi, tapi juga dalam promosi. Lewat media sosial seperti TikTok dan Instagram dengan akun “dE Percussion”, Edibud memasarkan rindik dan alat musik bambu lainnya ke berbagai daerah dan negara. Denpasar jadi pasar lokal terbesar, sementara pemesan luar negeri datang dari Singapura, Jepang, Australia, hingga Amerika Serikat.

Bambu, Keringat, dan Pasar Global

Bahan utama rindik buatannya berasal dari dua jenis bambu pilihan: bambu Tabah dari perbukitan Bali Utara dan bambu Hitam dari Jawa. Bambu-bambu itu direndam selama dua bulan dalam larutan insektisida dan EM4 agar tahan lama dan tak mudah dimakan rayap. Semua proses, dari pemotongan, pemahatan, pengukiran, hingga penyusunan nada, dikerjakan secara manual dengan bantuan alat sederhana seperti belakas, gerinda, dan bor kecil.

“Bersyukur sekali, di Buleleng masih banyak bambu Tabah yang bagus. Kuncinya direndam dan dijaga, jangan sering kena hujan atau panas langsung agar rindiknya awet,” katanya.

Produk yang ia hasilkan bukan hanya rindik, tapi juga tingklik, angklung bambu, suling, kulkul, hingga kincir angin bernada. Semua berbahan bambu, semua diproses dengan tangan. Harga rindik yang ia jual berkisar dari satu juta hingga delapan juta rupiah, tergantung ukuran, motif, dan ukiran.

Yang istimewa, Edibud juga memberdayakan pemuda di lingkungan sekitar untuk ikut membantu produksi, terutama dalam pembuatan pelawah dan ornamen ukiran.

Pulih di Tanah Sendiri

Sejak lulus kuliah pada 2018, Edibud memilih pulang ke kampung dan menanam usaha di tanah kelahirannya. Ia percaya bahwa nilai dari sebuah karya tidak hanya dinilai dari bentuknya, tapi dari semangat di baliknya.

“Saya berharap banyak pemuda Bali mulai mencintai seni gamelan lagi. Karena ini warisan budaya kita. Banyak yang sebenarnya suka, tapi karena tuntutan ekonomi, lebih memilih merantau dan meninggalkan seni ini,” tuturnya pelan.

Edibud tak sekadar membuat rindik. Ia sedang merakit kembali ikatan antara tradisi dan masa depan. Di tengah dunia yang cepat, ia memilih jalan lambat, menyentuh setiap bilah bambu, menyesuaikan nadanya, dan menjadikannya suara pulang yang dikirim ke seluruh dunia.

(adi/sukadana)

Baca juga :
  • Bonk Ava, Suarakan Luka Lewat Puisi dan Lukisan
  • Pagi Setelah Penyelamatan: Wajah-Wajah Pahlawan Pabuahan
  • I Wayan Reken, Menjaga Jejak Islam di Bali Lewat Pena