PERNYATAAN Anggota Komisi X DPR RI, Furtasan Ali Yusuf, tentang kenaikan “ugal-ugalan” biaya pendidikan dasar di Indonesia seharusnya menjadi alarm keras bagi pemerintah. Ketika angka kenaikan biaya SD mencapai 12,6 persen per tahun, sementara kenaikan gaji orang tua hanya 2,6 persen, ketimpangan itu bukan lagi sekadar statistik. Ia mencerminkan krisis arah kebijakan negara terhadap pendidikan. Masalah ini bukan baru muncul kemarin. Namun yang mengejutkan adalah betapa abainya sistem terhadap realitas di lapangan. Alih-alih menjadi tangga mobilitas sosial, pendidikan justru menjadi beban struktural yang menggerus daya hidup keluarga, terutama kelas menengah ke bawah. Ironisnya, kesejahteraan guru pun tidak ikut terangkat, padahal mereka adalah tulang punggung pendidikan itu sendiri. Ketiadaan regulasi yang mengatur batas minimum dan maksimum biaya pendidikan, khususnya di sekolah swasta, membuka ruang lebar bagi komersialisasi liar. Pendidikan berubah menjadi komoditas. Layanan premium seperti kolam renang atau fasilitas olahraga sering dijadikan alasan pembenar untuk menarik pungutan lebih, tanpa mempertimbangkan kapasitas ekonomi orang tua. Padahal, semestinya yang dijual bukan kemewahan fisik, tapi kualitas pembelajaran dan kemanusiaan. Kritik lain yang tak kalah penting adalah soal arah distribusi anggaran. Meski 20 persen APBN telah dialokasikan untuk pendidikan, sekitar Rp714 triliun pada tahun ini, dana itu ternyata tersebar ke banyak pos lain seperti pendidikan kedinasan, pelatihan aparatur, hingga belanja pegawai. Sementara pendidikan dasar dan menengah, tempat lahirnya fondasi keadilan sosial, justru tidak mendapatkan porsi fokus. Situasi ini menunjukkan bahwa bukan hanya dana yang besar yang dibutuhkan, tetapi ketegasan visi dan keberpihakan. Negara tak boleh membiarkan pendidikan tunduk sepenuhnya pada logika pasar. Fungsi negara adalah menjamin akses, kualitas, dan keadilan. Jika fungsi itu ditinggalkan, maka cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi retoris belaka. DPR perlu memainkan perannya lebih dari sekadar pengawas administratif. Ia harus menjadi penyeru nilai. Pengawasan bukan soal laporan angka, tetapi soal memastikan bahwa setiap rupiah yang dibelanjakan memberi dampak nyata bagi guru, murid, dan masa depan bangsa. Ketika pendidikan tak lagi bisa diakses secara layak oleh semua, maka yang runtuh bukan hanya sistem sekolah, tapi juga keyakinan rakyat pada keadilan sosial. Dan jika itu yang terjadi, sesungguhnya negara sedang abai pada cermin yang paling jujur tentang dirinya sendiri. (*)
Baca juga :
• Pers yang Profesional, Demokrasi yang Bernyawa
• Bullying Bukan Tradisi Sekolah
• Bali dan Bayang-Bayang Risiko Wisata