Search

Home / Kolom / Opini

Saat Murid Lebih Canggih dari Guru

Nyoman Sukadana   |    17 Juli 2025    |   22:48:00 WITA

Saat Murid Lebih Canggih dari Guru
Suasana kelas jurnalistik SMUN 1 Kuta Utara, tempat berbagi dan belajar menulis bersama siswa. (foto/angga)

Cerita dari Kelas Jurnalistik

PERNAH membina ekstrakurikuler jurnalistik di SMAN 1 Kuta, Badung, Bali, pada 2018–2023, banyak pengalaman yang saya dapatkan. Selama lima tahun itu, saya berinteraksi dengan puluhan siswa dari berbagai latar belakang dan karakter. Saya pun sadar betul bahwa generasi muda saat ini sangat berbeda dengan generasi saya yang lahir dan tumbuh besar di era 1980-an.

Anak-anak didik saya dibesarkan oleh teknologi digital. Mereka akrab dengan gawai dan internet sejak kecil. Jika dulu saya harus pergi ke perpustakaan untuk membaca buku atau membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia yang tebal, sekarang semua itu bisa diakses dari layar ponsel. Sekarang mereka tinggal mengetik kata kunci di Google, dan dalam hitungan detik, ribuan informasi tersedia. Bahkan, untuk menyusun artikel atau menyelesaikan tugas-tugas sekolah, mereka bisa memanfaatkan bantuan teknologi kecerdasan buatan (AI).

AI bahkan bisa menulis puisi, cerpen, artikel, hingga membuat ringkasan buku dalam waktu yang sangat singkat. Canggih memang, tetapi sekaligus juga mengkhawatirkan, karena membuat kita semua—baik siswa maupun guru—menjadi lebih malas berpikir.

Peran guru atau pembina ekstrakurikuler pun ikut bergeser. Dulu, guru adalah sumber informasi utama di kelas. Sekarang, guru lebih berperan sebagai fasilitator atau teman belajar. Murid-murid bukan lagi ‘kertas kosong’ yang siap diisi oleh pengetahuan dari guru. Mereka sering kali sudah tahu duluan apa yang akan diajarkan, karena sudah melihatnya di internet, media sosial, atau YouTube. Tak jarang, saya merasa mereka lebih cepat menangkap sesuatu dibanding saya.

Diskusi Guru–Siswa

Itulah sebabnya, ketika saya membina kelas jurnalistik, saya memilih pendekatan diskusi. Kami duduk sama rata, saling berbagi. Saya tidak merasa lebih tahu, hanya karena saya jurnalis dan mereka siswa. Satu-satunya hal yang membedakan saya dan mereka hanyalah “jam terbang” dan pekerjaan. Saya menulis berita setiap hari sebagai bagian dari profesi, sedangkan mereka belum. Soal pengetahuan umum atau literasi digital, bisa jadi mereka lebih cepat dan lebih kaya referensi.

Saya lebih senang berbagi pengalaman sebagai jurnalis lapangan—bagaimana menulis berita dari hasil wawancara, bagaimana mengemas laporan agar enak dibaca, bagaimana mencari narasumber, atau bagaimana menghadapi tekanan saat menulis isu-isu sensitif. Saya tidak ingin tampil sebagai ‘penguasa kelas’ yang mendikte ini-itu, tapi sebagai teman diskusi. Dan ternyata pendekatan ini lebih efektif. Mereka menjadi lebih aktif, tidak merasa terintimidasi, dan lebih mudah mengungkapkan pendapat.

Satu hal menarik yang saya amati selama menjadi pembina adalah, siswa perempuan jauh lebih banyak yang tertarik pada dunia jurnalistik dibanding laki-laki. Setiap tahun, anggota ekskul jurnalistik selalu didominasi oleh siswi. Walaupun saya belum pernah melakukan riset secara formal, tetapi tren ini tampak konsisten dari tahun ke tahun.

Mungkin ini berkaitan dengan karakter alami perempuan yang lebih tekun, teliti, dan sabar. Jurnalisme memang menuntut ketekunan, ketelitian dalam menulis, dan kesabaran dalam mencari dan memverifikasi informasi. Meskipun tidak semua dari mereka nantinya akan menjadi jurnalis atau kuliah di jurusan komunikasi, tetapi kemampuan menulis yang mereka dapatkan selama mengikuti jurnalistik akan sangat berguna ketika mereka menjadi mahasiswa.

Kemampuan menulis membantu mereka menyusun makalah, laporan, hingga skripsi. Bahkan, banyak dari mereka yang tetap menulis untuk media kampus setelah lulus SMA. Ini tentu menjadi bekal yang sangat baik bagi masa depan mereka, apa pun jurusan yang mereka ambil nantinya.

Tantangan Zaman Digital

Tantangan belajar jurnalisme di era digital ini memang sangat besar. Salah satunya adalah perubahan cara anak muda mengekspresikan diri. Sekarang, lebih banyak yang tertarik membuat video pendek, menjadi YouTuber, TikToker, atau membuat konten visual lainnya ketimbang menulis rutin di blog atau mengirim karya ke media massa.

Menulis dianggap kurang menarik, terlalu ribet, atau tidak sepopuler membuat konten visual. Maka, tantangan bagi pembina jurnalistik adalah bagaimana tetap membuat aktivitas menulis itu menarik dan relevan bagi generasi sekarang.

Saya pun tidak bisa memaksakan mereka untuk langsung bisa menulis berita secara ideal layaknya wartawan profesional. Kadang, ada yang lebih tertarik belajar menulis caption untuk Instagram, atau membuat naskah video pendek. Itu hal yang wajar. Justru di sinilah letak pentingnya menjadi fleksibel sebagai pembina.

Saya membuka ruang untuk mereka menulis apa pun yang mereka sukai dulu. Dari menulis caption, lama-lama mereka belajar menulis narasi yang lebih panjang. Dari membuat konten media sosial, mereka belajar mengenal audiens dan pentingnya menyampaikan pesan yang jelas dan bertanggung jawab. Ini semua adalah bagian dari proses belajar jurnalisme juga, walaupun bentuknya tidak seperti yang dulu saya pelajari.

Sebagai pembina, saya juga banyak belajar dari mereka. Mereka memperkenalkan saya pada tren media sosial, cara membuat konten yang menarik, hingga aplikasi-aplikasi baru yang berguna untuk menyunting foto, video, dan naskah. Proses belajar mengajar pun menjadi kegiatan saling tukar pengalaman.

Saya percaya, selama kita membuka ruang dialog dan tidak menganggap diri lebih tahu hanya karena lebih tua, anak-anak muda akan tetap tertarik pada jurnalisme. Meskipun bentuknya berubah, esensi dari jurnalisme—yakni kepekaan, kemampuan menulis, dan keberanian menyampaikan kebenaran—tetaplah relevan kapan pun.

Maka, tugas kita sebagai pembina adalah menjembatani perubahan zaman ini, agar semangat menulis dan berpikir kritis tetap tumbuh di tengah generasi digital. (*)

Angga Wijaya (Jurnalis tinggal di Denpasar, Bali)

Baca juga :
  • Bali dalam Sorotan Media Global
  • Perintis? Ah kita semua pewaris..!
  • Belajar Bahagia dari Indonesia