DENPASAR, PODIUMNEWS.com - Suhu udara yang turun tajam dalam beberapa pekan terakhir mulai memicu kekhawatiran. Tak hanya membuat tubuh menggigil, cuaca dingin ekstrem yang dikenal dengan istilah mbediding juga berisiko memicu gangguan kesehatan, terutama penyakit pernapasan seperti flu dan asma. Wahid Dianbudiyanto ST MSc, pakar Teknik Lingkungan Universitas Airlangga, menjelaskan bahwa fenomena ini dipicu oleh hilangnya lapisan awan saat musim kemarau. “Permukaan bumi kehilangan panas lebih cepat karena tidak ada awan yang menahan radiasi balik ke atmosfer,” ujar Wahid melalui siaran pers, Senin (15/7/2025). Selain itu, hembusan angin muson timur dari Australia yang sedang mengalami musim dingin turut memperparah situasi. Massa udara dingin dan kering bergerak ke Indonesia bagian selatan akibat perbedaan tekanan antara benua Asia dan Australia. “Inilah mengapa suhu malam hari bisa turun hingga 17 derajat Celcius, bahkan lebih rendah di daerah dataran tinggi,” tambah Wahid. Meski terlihat alami, kondisi ini tak bisa dianggap remeh. Wahid menyebut bahwa suhu dingin dapat berdampak langsung terhadap ketahanan tubuh masyarakat. “Suhu yang terlalu rendah membuat sistem imun menurun. Ini membuka peluang infeksi virus seperti flu, bahkan memperparah gejala asma,” katanya. Ia menegaskan, kelompok rentan seperti lansia, anak-anak, dan penderita penyakit kronis perlu mendapat perhatian lebih. “Kondisi ini bisa makin berbahaya jika berlangsung lebih lama dari biasanya,” ujarnya. Fenomena mbediding diperkirakan akan terus terjadi hingga September, mengikuti pola puncak musim kemarau. Meski belum ada lonjakan kasus kesehatan yang signifikan, kewaspadaan tetap perlu dijaga. “Yang sering terlupakan adalah efek jangka pendek. Bukan hanya tubuh yang menggigil, tapi juga daya tahan yang bisa runtuh pelan-pelan,” imbuh Wahid. Untuk mengantisipasi dampaknya, ia mengimbau masyarakat menjaga asupan nutrisi, memakai pakaian hangat saat malam, dan rutin memantau prakiraan cuaca harian. “Hal sederhana seperti mengenakan jaket saat tidur bisa jadi penyelamat,” pesannya. Fenomena ini bukan bencana, namun bisa menjadi pengingat bahwa adaptasi terhadap perubahan cuaca perlu dilakukan, terutama di tengah ketidakpastian iklim global. (riki/suteja)
Baca juga :
• Fasyankes di Bali Diminta Kelola Sampah Berbasis Sumber
• PKK Denpasar Cegah Stunting di Dua Lokasi Sekaligus
• Pemerintah Denpasar Kejar Target Vaksinasi 82 Ribu Anjing