DENPASAR, PODIUMNEWS.com - Gedung Ksirarnawa di Taman Budaya Provinsi Bali menjadi panggung kehormatan bagi Komunitas Seni Taksu Mandala dari Banjar Wijaya Kusuma, Desa Adat Ungasan, Kuta Selatan. Pada Senin malam (14/7/2025), kelompok seni ini mewakili Kabupaten Badung dalam ajang Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-47 dengan rangkaian penampilan yang memadukan pelestarian tradisi dan semangat inovasi. Penampilan diawali dengan Tabuh Petegak Palegongan Klasik berjudul Kulicak, sebuah karya warisan maestro tabuh I Gusti Putu Made Geria. Terinspirasi dari suara burung Kulicak, garapan ini menampilkan komposisi musikal khas era 1970-an yang kini dihidupkan kembali oleh generasi muda Ungasan. Tabuh ini dibina oleh I Komang Sukajaya Sudarma, SSn, dengan tata busana penabuh dari Kicuk Collection serta dukungan penuh dari Kelian Desa Adat dan Perbekel Desa Ungasan. Selanjutnya, Tabuh Petegak Palegongan Kreasi berjudul Saet Wangsul ditampilkan sebagai refleksi emosional atas keterikatan masyarakat Ungasan terhadap tanah kelahirannya. Karya ini disusun oleh I Wayan Pradnya Pitala, SSn, dan mengangkat konsep musikal dari vokal kata “wangsul” yang menggambarkan anak-anak Ungasan yang menimba ilmu ke luar negeri lalu kembali untuk membangun desanya. Komposisi ini menghadirkan paduan antara unsur musikal dan simbol perjalanan peradaban, menjadi salah satu garapan yang penuh makna kontemporer namun tetap berpijak pada akar lokal. Taksu Mandala juga menampilkan Tari Legong Klasik Jobog yang mengisahkan pertarungan dua bersaudara, Sugriwa dan Subali, dari cerita Ramayana. Gerakan legong yang halus, cepat, dan penuh emosi disajikan dengan bimbingan artistik dari Ni Made Ratna Juwita, SSn, serta dukungan iringan dari I Komang Sukajaya Sudarma dan I Komang Budiarsa. Sebagai penutup, ditampilkan Tari Legong Kreasi berjudul Manohara. Karya ini digarap oleh Kadek Ayu Diah Mutiara Dewi, SSn, dan Ni Putu Putri Laksmi Dewi, SSn. Terinspirasi dari filosofi Rwa Bhineda, tari ini menyampaikan pesan keseimbangan antara kelembutan dan kekuatan, putih dan hitam, maskulin dan feminin. Tabuh pengiringnya digarap oleh I Nyoman Tri Sandyasa, SSn. Pembina Pelegongan Klasik Taksu Mandala, Komang Trisandiasa Putra, menjelaskan bahwa Manohara lahir dari perenungan atas kata “Manoharam” yang berarti seimbang dan indah. Ia menyebut karya ini sebagai simbol kolaborasi spiritual Desa Ungasan, dan proses kreatifnya telah berlangsung selama empat bulan dengan melibatkan tiga puluh seniman muda. Menurutnya, Jagat Kerthi bukan hanya konsep spiritual, tetapi butuh keseimbangan nyata antara nilai-nilai yang berseberangan agar bisa menjadi satu kesatuan dalam harmoni. Sementara itu, Bendesa Adat Ungasan, Wayan Disel Astawa, menyampaikan rasa syukurnya atas kesempatan tampil di PKB 2025. Ia menyebut keikutsertaan ini sebagai kebanggaan sekaligus bentuk nyata dari pelestarian budaya desa. Ia juga menekankan bahwa keberhasilan pelestarian adat dan seni tidak cukup hanya dengan dukungan finansial. Menurutnya, kunci utamanya adalah kemauan, niat, dan bakat dari generasi muda. “Tanpa kemauan dan niat, sebesar apa pun dana yang diberikan, akan sia-sia. Astungkara, kami di Ungasan memiliki anak-anak muda yang bersedia menjaga seni dan budaya leluhur,” ujarnya. Penampilan Taksu Mandala malam itu menyuguhkan lebih dari sekadar tontonan. Ia menjadi ruang pertemuan antara masa lalu dan masa kini, antara akar tradisi dan tafsir baru, antara keteguhan identitas dan semangat zaman. (adi/sukadana)
Baca juga :
• Disdikpora Badung Buka MPLS di Abiansemal
• Diskominfo Badung Dorong Badan Publik Lebih Informatif
• 150 Seniman Muda Badung Guncang Ardha Candra