SUARA ombak di pesisir Panji, Kecamatan Sukasada, Buleleng, menjadi saksi awal langkah seorang anak nelayan menulis takdirnya sendiri. Di tengah semilir angin dan aroma asin laut, Made Dea Vio Lantini memupuk mimpi yang mungkin bagi sebagian orang terdengar terlalu tinggi. Tapi tidak baginya. Lulusan SMA Negeri 1 Singaraja tahun 2025 ini baru saja mencetak prestasi membanggakan. Ia diterima di Institut Teknologi Bandung (ITB), tepatnya di Fakultas Teknologi Industri, melalui jalur prestasi. Sebuah capaian yang tak hanya mengharumkan nama sekolah, tapi juga kampung halamannya yang terletak di ujung utara Pulau Bali. "Saya percaya prinsip orang Bali, De Bani di Kandang Gen. Jadi saya berusaha jangan hanya hebat di sekolah, tapi juga bisa bersaing di luar," ujar Dea saat dihubungi lewat sambungan telepon, Kamis (17/7/2025). Dea bukan sekadar siswi pintar di atas kertas. Ia adalah representasi dari kerja keras yang konsisten dan semangat yang tak pernah luntur. Tiga tahun di Smansa Singaraja ia jalani bukan hanya dengan menjaga nilai akademik tetap tinggi, tapi juga aktif mengikuti lomba debat dan berbagai kegiatan organisasi. Tak tanggung-tanggung, sederet prestasi nasional ia raih, di antaranya Juara 1 Lomba Debat Pariwisata Nasional di Sekolah Vokasi UGM, Juara 1 Debat Konstitusi di IPI Garut, serta Juara 2 Debat Pendidikan di Universitas Teknologi Surabaya. Tak hanya jago bicara, Dea juga punya kepedulian terhadap isu lingkungan. Ia pernah menciptakan alat pendingin udara tanpa freon, sebagai solusi mengurangi emisi CFC. Yang membuat kisahnya semakin menyentuh, semua itu dilakukan di tengah keterbatasan ekonomi. Ayahnya seorang nelayan, ibunya berjualan kecil-kecilan. Seusai sekolah, Dea membantu ibunya berjualan dan menjaga adik yang masih bayi, sebelum kembali belajar malam hari. “Orang tua saya hanya tamatan SMP dan SMA. Tapi mereka bekerja sangat keras. Saya ingin jadi orang pertama di keluarga yang kuliah, untuk membalas perjuangan mereka,” katanya pelan, namun pasti. Metode belajarnya pun tidak asal. Ia membuat target bulanan, membagi waktu antara belajar dan berorganisasi, serta aktif mengatur ritme kegiatan agar tidak kewalahan. Saat lomba di luar kota dan biaya tidak tersedia, ia bahkan sempat patungan dengan teman atau mencari sponsor mandiri. Dukungan sekolah juga jadi bagian penting dalam perjalanan Dea. Kepala SMA Negeri 1 Singaraja, Made Sri Astiti, menyebut Dea sebagai siswi yang sangat termotivasi. “Kami beri dispensasi lomba, fleksibilitas tugas, dan pendampingan. Dea itu tahu apa yang dia mau. Kami tinggal mendukung,” ujarnya. Kini, impian besar Dea mulai menemukan jalannya. Ia ingin menjadi konsultan di perusahaan global, menggabungkan minatnya di dunia teknik dan kemampuan komunikasinya. Mimpinya tak hanya soal karier, tetapi juga soal harapan. Harapan bahwa pendidikan bisa mengubah nasib. Harapan bahwa siapa pun, bahkan anak nelayan dari kampung kecil, bisa berdiri sejajar di antara para terbaik. “Jangan minder. Pendidikan bisa mengubah hidup. Konsistensi, kerja keras, dan percaya diri itu kuncinya. Jangan remehkan mimpi kita,” pesan Dea untuk siswa-siswi lain di Buleleng. Langkah Dea belum selesai. Tapi dari Panji menuju Bandung, dari rumah sederhana ke gerbang kampus legendaris, ia telah membuktikan bahwa mimpi bukan milik mereka yang punya segalanya. Mimpi adalah milik mereka yang tak berhenti berjalan. (sukadana)
Baca juga :
• Ketut Suastika Usulkan Ruang Kelas Baru Atasi Kisruh PPDB
• Dari Panggung ke Pelukan Generasi
• Di Antara Kresek dan Karang, Bocah Belajar Peduli