SETIAP pagi, kita bangun dan mengenakan sesuatu—bukan hanya pakaian, tapi juga peran. Tanpa sadar, kita masuk ke dalam karakter yang dunia harapkan: anak yang penurut, ayah yang tangguh, pemimpin yang tegas, atau perempuan yang tabah. Kita jalani semua itu dengan penuh kesungguhan, kadang terlalu serius, hingga lupa bahwa di balik semua peran itu ada diri yang lebih sunyi—yang pernah bertanya, "Sebenarnya aku ingin jadi siapa?" Kita lahir dengan nama yang tidak kita pilih, tumbuh dalam nilai-nilai yang telah ditentukan sebelumnya. Lalu beranjak dewasa dan merasa bebas memilih jalan hidup, padahal sering kali itu hanyalah kompromi: antara harapan orang tua, tuntutan sosial, dan rasa aman yang kita kira sebagai cita-cita. Seperti aktor yang langsung mengenakan kostum sejak membuka mata, kita memakai identitas dan berjalan ke panggung. Kita terlalu terbiasa memainkan peran, sampai lupa bagaimana rasanya menjadi manusia biasa—tanpa naskah, tanpa sorotan, tanpa tepuk tangan. Jean-Paul Sartre, filsuf eksistensialis dari Prancis, pernah menulis bahwa “manusia dikutuk untuk bebas.” Baginya, tak ada takdir yang bisa dijadikan alasan. Justru karena kita bebas, maka kita sepenuhnya bertanggung jawab atas pilihan hidup kita. Tapi kebebasan seperti itu menakutkan. Maka kita diam di balik peran, menyebutnya ‘jalan hidup’, padahal bisa jadi hanya jalan aman. Aku sendiri pernah merasa hidupku bukan milikku. Pilihan-pilihan yang kuambil lebih mirip jawaban dari soal yang diajukan dunia luar, bukan pertanyaan dari dalam diriku sendiri. Aku pernah ingin menjadi penulis sejak kecil, tapi memilih jurusan hukum karena dianggap lebih bergengsi. Aku suka kesunyian, tapi diajari bahwa sukses adalah tampil ramai. Aku mencintai waktu sendiri, tapi dipaksa percaya bahwa hidup hanya berarti jika terus produktif. Diri kita yang sejati perlahan memudar, tertutup oleh kostum bernama ‘tanggung jawab’. Padahal, tanggung jawab yang tak lahir dari kebebasan adalah penjara yang tak berdinding. Barangkali Alan Watts, pemikir spiritual dari Inggris, ada benarnya saat bilang bahwa “kita terlalu sibuk menjadi ‘seseorang’, sampai lupa rasanya menjadi diri sendiri.” Dalam salah satu ceramahnya, ia berkata bahwa banyak orang tidak benar-benar hidup, melainkan hanya memainkan hidup. Kata-katanya itu seperti kaca bening yang memantulkan diri kita yang lelah—berusaha tampil baik, berguna, dan sukses, tapi jauh dari tenang. Tentu tak ada yang salah dengan peran. Dunia ini memang panggung yang tak henti berganti adegan. Tapi apakah kita pernah memberi waktu untuk melepas kostum, duduk diam, dan menyapa diri yang paling jujur? Diri yang tidak sedang menjawab siapa-siapa. Diri yang tidak takut gagal. Diri yang hanya ingin berjalan kaki sore hari dan merasa cukup dengan itu. Akhir-akhir ini aku belajar melepas peran-peran yang tak lagi cocok. Bukan untuk menjadi liar, tapi untuk menjadi jujur. Menjadi manusia yang tak sempurna, tapi utuh. Menjadi seseorang yang bisa berkata, “Ini hidupku. Aku memilihnya.” Dan mungkin, dari sana, kita bisa benar-benar hidup. Bukan sekadar menjalani peran. Menot Sukadana
Baca juga :
• Lebih dari Sekadar Bertahan
• Menyusun Ulang Jejak
• Balasan yang Tak Pernah Terkirim