SETIAP fase hidup membawa pertanyaan baru. Bukan lagi tentang seberapa cepat kita bisa berlari, tapi ke mana sebenarnya arah langkah itu dituju. Di usia yang tak lagi muda, saya mulai lebih sering memikirkan tentang keberlanjutan, bukan sekadar keberhasilan. Tentang bagaimana sesuatu bisa tetap bernilai, bahkan setelah saya tak lagi ada di dalamnya. Pagi itu, AW datang ke kantor. Ia sahabat lama yang kini telah menulis belasan buku. Saya memintanya menjadi editor buku pertama saya, JEDA: Catatan Renungan Seorang Jurnalis tentang Hidup dan Makna. Buku ini adalah bagian dari rencana besar yang sedang saya bangun secara perlahan, sesuatu yang saya sebut sebagai Podium Ecosystem. Kami berbincang seperti biasa—tentang dunia media lokal yang kian sempit ruang nafasnya, dan tentang buku yang selalu menjadi tempat pulang bagi pikiran yang lelah. Saya mengatakan padanya bahwa kegelisahan saya bukan lagi soal rating atau traffic. Tapi tentang bagaimana media bisa tetap hidup dengan martabat di tengah perubahan zaman. Selama ini, media lokal bertahan karena kerja sama publikasi dengan pemerintah daerah. Tapi zaman bergerak cepat. Banyak kepala daerah kini lebih memilih media sosial sebagai saluran komunikasi politik. Cepat, murah, dan bisa dikontrol penuh. Dalam kondisi seperti itu, media kehilangan peran—dan yang lebih parah, kehilangan pijakan ekonomi. Saya tahu saya tidak bisa mengubah semua itu. Tapi saya bisa memulai dari apa yang saya miliki. Dan saya tahu saya tak bisa memulai bidang baru dari nol. Maka saya memilih cara lain: membangun ekosistem. PodiumNews.com menjadi titik pusatnya—media utama yang berusaha menjaga kejernihan dan integritas. Podium Kreatif saya dirikan untuk menjadi konsultan media dan komunikasi yang bisa mendampingi institusi maupun komunitas menyusun narasi mereka sendiri. Lalu UrbanBali.com, sebagai kanal gaya hidup yang merayakan budaya lokal dalam balutan modernitas. Dan satu lagi: Kedai Kopi Redaksi, ruang temu yang sedang saya bangun di tepi sawah, bukan hanya untuk menikmati waktu, tapi untuk mempertemukan warga dan gagasan. Gagasan tentang ekosistem ini tidak lahir dalam satu malam. Ia tumbuh dari proses panjang pengamatan, perenungan, dan percobaan. Saya banyak belajar dari model-model yang sudah ada, lalu menyesuaikannya dengan konteks yang saya hadapi. Prinsipnya sederhana: Amati, Tiru, dan Modifikasi. Termasuk saat menggagas Kedai Kopi Redaksi—sebuah ide yang terinspirasi dari wartawan senior yang mengelola kedai di tengah kebun kawasan perkotaan. Saya tidak gengsi belajar dari siapa pun, selama itu membawa nilai yang bisa saya adaptasi dengan jujur. Di titik ini saya teringat kata-kata Søren Kierkegaard: “Hidup hanya bisa dipahami jika dilihat ke belakang, tetapi harus dijalani ke depan.” Bagi saya, semua ini bukan proyek bisnis. Ini adalah upaya menghadirkan nilai—dengan skala yang saya mampu, dengan cara yang saya pahami. Sebuah usaha sosial yang ingin tetap berdiri di tengah perubahan, tanpa kehilangan esensinya. AW mendengarkan. Ia tahu, ini bukan tentang ambisi. Ini tentang keyakinan yang dibangun perlahan, dan dipertahankan dengan kesadaran bahwa usia bukan alasan untuk berhenti melangkah. Saya juga percaya pada satu kalimat dari Samuel Johnson yang pernah saya catat dalam buku tua: “Bukan kekuatan, tetapi ketekunan yang membangun sesuatu yang abadi.” Saya tidak tahu ke mana semua ini akan membawa saya. Tapi saya tahu, selama masih bisa menyusun kata dan menyusun niat, saya akan terus berjalan. (*) — Menot Sukadana
Baca juga :
• Menyusun Ulang Jejak
• Peran yang Dikenakan
• Balasan yang Tak Pernah Terkirim