KADANG hidup tak butuh jawaban. Ia hanya perlu tempat untuk menetap sejenak, seperti bubuk kopi yang mengendap di dasar gelas—diam, tapi menyumbang rasa. Suatu pagi, AW datang ke kantor redaksi. Ia wartawan muda yang kini ikut bergabung di Podium. Saat itu, saya sedang menyeduh berita di depan layar—menakar judul, mengaduk lead, menyimak aroma kalimat. Kami lalu berbincang, ditemani kopi yang belum sepenuhnya hangat. Kami bicara soal buku saya yang akan terbit, dan AW menjadi editornya. Ia sudah beberapa kali menerbitkan buku, bahkan salah satunya diterjemahkan ke bahasa asing. Dalam percakapan itu, ada kalimatnya yang pelan tapi menempel: “Menulis itu terapi, Bli.” Saya diam sejenak. Kata yang tidak asing, tapi terdengar seperti air panas yang baru dituangkan ke atas bubuk—aromanya menguar pelan. Mungkin saya juga menulis karena ingin sembuh. Atau setidaknya, agar kegelisahan saya punya tempat untuk mengendap. Saya lalu bercerita padanya, bahwa saya paling sering menulis menjelang subuh. Setelah malam yang panjang dan mata yang sulit terpejam, saya menyeduh kata-kata. Sunyi dini hari seperti air panas—membuat pikiran yang beku mulai larut sedikit demi sedikit. Obrolan kami meluas, membicarakan para penulis yang justru paling produktif saat sedang dipenjara. Seperti Nelson Mandela yang menulis memoar selama 28 tahun di balik jeruji rezim apartheid. Seperti Bung Hatta, Bung Karno, atau Pramoedya yang melahirkan karya abadi saat ditahan di Pulau Buru. Kata-kata mereka bukan sekadar tulisan, tapi jalan pulang dari gelap yang panjang. Saya juga sempat membaca buku esai karya AW berjudul Terlanjur Galbay. Tulisannya personal, jujur, dan mengalir seperti tetes kopi dari dripper. Ada pengalaman hidup yang sederhana, tapi justru menyentuh karena ditulis dengan hati yang terbuka. Saya bilang padanya, “Melalui tulisan, bukan hanya terapi, tapi juga cara memberi manfaat untuk orang lain. Pengalaman orang biasa pun bisa jadi pelajaran. Bukankah kita belajar dari cerita—bukan dari kesempurnaan?” Albert Camus pernah menulis: “Di tengah musim dingin yang paling dalam, aku akhirnya tahu bahwa di dalam diriku ada musim panas yang tak terkalahkan.” Tulisan mungkin adalah musim hangat itu—yang muncul diam-diam saat hidup sedang dingin-dinginnya. Dan Nietzsche bilang: “Kita perlu menyimpan sedikit kekacauan dalam diri agar bisa melahirkan bintang yang menari.” Barangkali tulisan adalah bintang-bintang kecil itu—lahir dari kekacauan batin, tapi memberi cahaya, walau hanya sejenak. Bagi sebagian orang, menulis adalah kerja kreatif. Tapi bagi sebagian lainnya—termasuk saya—menulis adalah kerja menyelamatkan diri. Ia seperti ritual menyeduh: pelan, penuh perhatian, dan tidak pernah buru-buru. Bukan untuk disajikan, tapi untuk diseruput sendiri. Dalam sunyi, dalam hening. Menulis memberi jarak. Ia membuat luka bisa dilihat dari luar tubuh. Bukan untuk dihakimi, tapi untuk dipeluk. Karena kadang, kita tidak butuh solusi. Kita hanya butuh ruang untuk mengaku: bahwa kita sedang tidak baik-baik saja. Dan itu tak apa. Ada malam-malam yang terlalu sunyi untuk dibagi. Tapi tulisan bisa menjadi cangkir. Ia menampung panasnya perasaan, agar bisa kita seruput perlahan. Tak harus menyenangkan lidah, asal cukup jujur menyampaikan rasa. Saya percaya, tidak semua tulisan harus indah. Yang penting, tulislah. Bahkan kalau satu-satunya kalimat yang bisa kau tulis hari ini hanyalah: “Saya tidak tahu harus mulai dari mana.” Itu pun cukup. Karena menulis bukan soal karya. Menulis adalah keberanian untuk tidak pura-pura kuat. Dan seperti kopi yang tak harus manis untuk menyenangkan lidah, tulisan pun tak harus sempurna untuk menyembuhkan luka. Cukup hangat. Cukup jujur. Itu saja sudah cukup. (Menot Sukadana)
Baca juga :
• Lebih dari Sekadar Bertahan
• Menyusun Ulang Jejak
• Peran yang Dikenakan